Bebas Malaria, Prestasi seluruh anak Bangsa

Program Pengendalian dan Pencegahan Malaria di Indonesia bertujuan untuk eliminasi malaria pada tahun 2030. Provinsi NTT merupakan penyumbang kasus malaria terbesar ke-2 di Indonesia. Angka kejadian malaria di NTT hingga tahun 2021 sebesar 1.72 per 1000 penduduk dengan total kasus sebanyak 9.419 positif malaria. Kabupatern Sumba Barat Daya  merupakan salah satu Kabupaten endemis tinggi malaria.

Salah satu upaya mendukung pengendalian malaria yaitu menjamin ketersediaan logistik malaria. Ketersediaan logistik malaria berupa tersedianya OAM (DHP, Primaquin, Artesunate, dll), RDT, serta alat/bahan laboratorium dan pengendalian vektor lainnya pada setiap fasilitas kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten & Kota. Logistik malaria memiliki peranan dalam keberlangsungan pelayanan di fasilitas kesehatan seperti tatalaksana malaria untuk penyembuhan penyakit malaria, penegakan diagnosis malaria, dan kegiatan pengendalian vektor.

Indikator logistik malaria yaitu kelengkapan laporan logistik dan laporan faskes tidak putus stok. Menjamin ketersediaan logistik perlu manajemen logistik yang baik. Manajemen logistik didasarkan pada suatu siklus dimana semua unsur dalam siklus tersebut harus dijaga agar sama kuatnya dan segala kegiatan harus selalu selaras, serasi dan seimbang. Manajemen logistik obat terdiri beberapa tahapan yaitu perencanaan, pengadaan, pendistribusian dan penyimpanan. Setiap tahap tersebut saling berkaitan satu sama lain, sehingga harus terkoordinasi secara baik agar berfungsi secara optimal.

Kegiatan ini diawali dengan melaporkan maksud dan tujuan ke Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat Daya yang diwakili oleh Sekretaris Dinas Kesehatan bersama dengan Kepala Bidang P2P dan Pengelola Malaria, dilanjutkan dengan Diskusi.

Adapun hal-hal  yang dilaksanakan untuk mendukung ketersediaan logistic malaria di Kabupaten adalah Monitoring dan evaluasi perencanaan, pengadaan, distribusi dan penyimpanan logistic, Menjamin ketersediaan logistik malaria pada Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan & Kota, dan fasilitas Kesehatan.

Kegiatan Monitoring & Evaluasi Logistik Malaria dilaksanakan pada 12-15 Oktober melibatkan Kepala Bidang P2P, Pengelola Malaria Kabupaten, pengelola Obat Malaria di Gudang Farmasi, dan uji Petik  di 2 Puskesmas yaitu Puskesmas Watukawula dan Puskesmas Radamata  dengan metode  wawancara, pengamatan, dan pengecekan terhadap ketersediaan obat malaria serta alat dan bahan lainnya, melakukan monitoring terhadap pencatatan dan pelaporan seperti kartu stok dan laporan bulanan, mengetahui tatacara atau prosedur yang berlaku dalam distribusi atau permintaan logistik, serta monitoring penyimpanan logistik.

Hasil dari kegiatan ini menunjukan bahwa perlu adanya pengusulan pengadaan alat dan bahan laboratorium untuk mendukung diagnosa kasus di kabupaten Sumba Barat Daya mengingat alat dan bahan lab yang kini terbatas pada tingkat provinsi dan pusat. Selain itu, perlu adanya sistem koordinasi yang melibatkan pengelola malaria dan farmasi agar pengelola malaria dapat terinformasikan jika ada distribusi logistik malaria dari Dinas Kesehatan Kabupaten ke Puskesmas.

Peningkatan Kapasitas SDM dan Evaluasi Program

Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman Mycrobacterium leprae. Menyerang kulit, saraf tepi dan organ tubuh lain.Mengakibatkan cacat penampilan dan fisik, gangguan sosialisasi, diskriminasi.Penularan dari penderita kusta yang belum pernah berobat. Penularan melalui pernafasan/kontak erat dan lama (2-5 tahun).Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Peningkatan Kapasitas merupakan suatu proses untuk melakukan sesuatu, atau serangkaian gerakan. Kapasitas Sumber Daya Manusia adalah kemampuan seseorang atau individu, suatu organisasi, atau suatu sistem untuk melaksanakan fungsi-fungsi atau kewenangannya untuk mencapai tujuannya secara efektif dan efesien.

Peningkatan kapasitas yang dimaksud disini adalah para Dokter Praktek Mandiri (DPM) di Kota Kupang untuk meningkatkan kemampuan, ketrampilan, dan attitude sehingga lebih efektif dan efisien dalam rangka mencapai sasaran/target pelayanan kepada Orang Yang Pernah Mengalai Kusta (OYPMK)

Tujuan Peningkatan Kapasitas adalah peningkatan kemampuan, ketrampilan, dan attitude sehingga lebih efektif dan efisien dalam rangka mencapai sasaran/target kinerja organisasi.

Metode Peningkatan Kapasitas adalah pemaparan materi, diskusi, tanyajawab untuk  meningkatkan kemampuan seseorang atau individu, suatu organisasi, atau suatu system untuk melaksanakan fungsi-fungsi atau kewenangannya untuk mencapai tujuannya pelayanan kepada OYPMK secara efektif dan efesien. Evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan berkenaan dengan proses untuk menentukan nilai dari suatu hal. Tujuan Evaluasi adalah untuk mengumpulkan data dan membandingkannya dengan standar tujuan yang ingin dicapai, sehingga bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Manfaat Evaluasi adalah memperoleh pemahaman pelaksanaan dan hasil pelaksanaan kegiatan yang telah berlangsung, Membuat keputusan berkenaan dengan pelaksanaan hasil kegiatan dan meningkatankan kualitas proses dan hasil dalam rangka meningkatkan kualitas keluaran

Waktu dan Tempat  pelaksanaan kegiatan Peningkatan Kapasitas (DPM) dan Evaluasi kusta perkotaan di New Hotel Kupang pada tanggal 4 Oktober 2022, dan kegiatan Evaluasi Daerah terpencil/Remute Area bagi tenaga kesehatan yang bertugas di daerah terpencil dilaksanakan di Aula kantor Dinkes Kabupaten TTU   pada tanggal 5 Oktober 2022 dengan peserta kegiatan adalah Dinkes Kabupaten TTU (Wasor Kusta Kabupaten), Pengelola Program Kusta Puskesmas dan Tenaga Kesehatan lainnya (Bidan Desa, Petugas Pustu,Polindes)

Hasil Evaluasi Kegiatan:

  1. Kota Kupang
  2. Jumlah Kasus baru (Januari-Juni 2022) Triwulan I : 10 kasus, Triwulan II : 13 kasus, Triwulan III : 23 kasus
  3. Jumlah Kasus Anak (Tahun 2019 – 2021) Tahun 2019 : 4 orang, Tahun 2020 : 4 orang dan Tahun 2021 : 3 orang
  4. Kabupaten TTU
  5. Dusun Oelmuke jumlah sasaran : 327 orang, yang minum obat pencegahan : 305 orang, Capaian :93,27 %
  6. Dusun Kiuapa jumlah sasaran : 331 orang, yang minum obat pencegahan : 325 orang, Capaian :98,19 %
  7. Dusun Lasena jumlah sasaran : 157 orang, yang minum obat pencegahan :148 orang, Capaian :94,27 %

Permasalahan

  1. Stigma kusta di masyarakat masih tinggi
  2. OYPMK masih melakukan pemeriksaan dan konsultasi di tempat (DPM)
  3. Tidak tersedia logistik Rifampicin yang cukup untuk melakukan kegiatan kemoprofilasis kusta di desa Maubesi pada bulan Oktober 2022
  4. Masih ditemukan pasien kusta yang mengalami reaksi kusta berulang
  5. Masih ditemukan pasien kusta baru dengan klasifikasi (MB=Multi Basiler)

Rekomendasi/RTL

  1. Melakukan kegiatan sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat terkait penyakit kusta
  2. Beri edukasi kepada OYPMK untuk memeriksakan diri ke puskesmas
  3. DPM menghubungi pengelola program kusta puskesmas dialamat diwilayah kerja puskesmas OYPMK untuk mendapatkan obat kusta
  4. Mencari faktor penyebab reaksi dan memberi konseling kepada pasien

Meningkatkan kegiatan pelacakan, penemuan dan pengobatan kasus kusta secara dini untuk mencegah terjadinya kecacatan akibat penyakit kusta.

Perang dengan malaria di jalur Selatan Kabupaten Malaka dan TTS

Agenda eliminasi malaria NTT tahun 2025 adalah keniscayaan, namun harus nyatakan perang “juga” dengan malaria di jalur selatan kabupaten Malaka dan TTS, selain daratan Sumba.

Timeline eliminasi malaria sebagaimana dicanangkan : Indonesia di tahun  2030, Nusa Tenggara Timur di tahun 2024 sesuai Peraturan Gubernur NTT No. 11 Tahun 2017 yang mana sesuai fakta lapangan telah di undur ke tahun 2025 (PerGub No. 11 tahun 2017 belum direvisi) semakin dekat, oleh karenanya berbagai upaya baik mitigasi maupun penanggulangan malaria perlu terus digalakkan dengan pelibatkan multi sektor.

Adapun capaian eliminasi malaria di Provinsi Nusa Tenggara Timur sampai tahun 2021 sebanyak 5 kabupaten (Manggarai, Kota Kupang, Manggarai Timur, Ngada, Ende ) dari  12 kabupaten yang di targetkan.

Sesuai dengan keputusan Direktur Jendral P2P Kementerian Kesehatan RI Nomor: HK.02.0/IV/1813/2017 tanggal 17 Juli 2017, tentang syarat eliminasi adalah menitikberatkan pada dua penilaian utama eliminasi, yaitu:

  1. Syarat Pertama (Utama)
  • API (Annual Parasite Insidence) < 1 per seribu penduduk
  • SPR (Slide Positif Rate) <5%
  • Tidak terdapat kasus Indigenous Selama 3 tahun berturut-turut
  1. Syarat kedua (Komplementer)

Managemen Pengelolaan malaria tingkat kabupaten

(Dinkes Kab, Faskes Rujukan & Faskes tingkat 1)

Total nilai yang harus dicapai oleh kabupaten/kota untuk memenuhi nilai ambang eliminasi malaria mencakup dua syarat diatas adalah minimal= 70 dari total nilai 100.

Secara berjenjang eliminasi malaria adalah dimulai dari tingkat terbawah dalam konsep kewilayahan, mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat (Indonesia) yang artinya mencakup seluruh wilayah NKRI tanpa kecuali, jika ada satu wilayah terkecil sekalipun (desa) tidak memenuhi syarat sebagaimana tersebut diatas maka, niatan eliminasi tidak dapat tercapai.

pengamatan otoritas kesehatan di kabupaten Malaka, kecamatan Wewiku, desa Lamea, wilayah kerja puskesmas Alkani,  tersebut bahwasannya malaria masih berpotensi dan bahkan mewabah. Khusus malaria terjadi peningkatan / penenuan kasus yang signifikan  selama periode tahun 2022: Januari-Juli terdapat 5 kasus,  Agustus terdapat 54 kasus, September terdapat 65 kasus (dominan kasus konfirmasi positif malaria di Bulan September adalah  pada 1 desa dari 4 desa  wilayah kerja puskesmas Alkani, karena adanya program Mass Blood  Survey (MBS) ) sehingga total sampai saat ini terdapat 124  kasus yang didominasi kasus indigenous (penularan lokal)

Situasi diatas tentunya menjadi ancaman bagi keberhasilan upaya eliminasi dan  target eliminasi dapat tertunda, karena 1 saja kasus malaria indigenous ditemukan maka agenda eliminasi akan tertunda untuk 3 tahun kedepan atau (3 tahun berturut-turut wilayah yang akan eliminasi harus 0 kasus malaria indigenous).

Pengamatan atas desa alkani dengan lingkungan geografis  (topografi / fisik)  dan budaya  sangatlah menantang, dimana desa alkani merupakan area yang berbatasan langsung dengan laut selatan dan muara sungai  dan terdapat  hutan adat (nona  AU )  yang masih “perawan” dan lebat akan  vegetasi flora beraneka jenis  dengan daerah aliran sungai (DAS) maupun laguna  yang merupakan habitat  bagi nyamuk anopheles dan spesies lainnya,  selain juga terdapat predator buaya sehingga area tersebut  tidak / belum  mendapat intervensi, selain itu juga terdapat penelantaran pemanfaatan atas lahan tambak garam yang tidak produktif.  Sisi budaya  ditemukan masih adanya pemahaman dan praktek  ditengah  masyarakat yang kontra produktif terhadap berbagai upaya kesehatan, dimana ada kelompok masyarakat yang masih menjalankan/ mengutamakan  praktek pengobatan tradisional dari pada praktek pengobatan modern sehingga di banyak kasus dijumpai adanya keterlambatan akses ke faskes dan mengakibatkan makin parahnya kondisi  penderita ketika di tangani pertama di fasilitas kesehatan.

Adapun rekomendasi yang disampaikan adalah beberapa kegiatan perlu terus diintensifkan dan dioptimalkan oleh seluruh jajaran pemerintahan kabupaten Malaka dan khususnya otoritas kesehatan (selaku leading sektor) di kabupaten Malaka demi menjaga wilayah dan masyarakatnya agar dapat terbebas dari belenggu malaria, oleh karenanya berbagai strategi dan metode yang telah diyakini dapat mengendalikan malaria dari hulu ke hilir  yang dapat  di jalankan adalah :

  1. Kolaborasi antar stakeholder dalam upaya pengendalian lingkungan fisik dalam kerangka pengendalian vektor melalui kemitraan dan pelibatan masyarakat  dalam pengendalian dan rekayasa lingkungan.
  2. Pemantauan dan pengendalian jentik nyamuk anopheles (surveilans vektor) secara terus menerus untuk memimimalisir faktor resiko penular malaria.
  3. Pemetaan fokus, penguatan tatalaksana malaria dan jejaringnya untuk  wilayah reseptif tinggi dan daerah vulnerable malaria.
  4. Upaya 3T (Testing, penguatan diagnostik dan penjaminan mutu laboratorium dengan gold standart testing adalah mikroskopis, Tracing minimal menjangkau 25 orang kontak erat, dan Treatment sesuai standar tatalaksana malaria yang wajib diikuti dengan pemantauan ketat kepatuhan minum obat malaria (OAM).
  5. Pemberdayaan dan pelibatan kader secara terbatas dalam upaya perluasan akses intervensi dan layanan malaria utamanya dalam konteks pengawasan minum obat malaria (OAM).
  6. Promosi kesehatan dalam kerangka pemberdayaan dan penggerakan masyarakat agar dapat menerapkan praktek praktek positif dan mendukung  dalam upaya eliminasi malaria.
  7. Upaya dan peningkatan kerja sama lintas batas dengan kabupaten maupun negara perbatasan. Dalam konteks survey migrasi dan notivikasi kasus antar kabupaten maupun negara tetangga guna respon cepat.

Konsep “perang melawan malaria”  adalah sebuah tindak nyata pergerakan yang benar benar memberantas malaria dan penyebabnya (vektor) bagi pencapaian eliminasi malaria di wilayah berpotensi mengancam keberhasilan agenda eliminasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam  kurun waktu yang tertentu misalnya 1 bulan di mobilisasi  /  pengerahan sumber daya ( SDM (sebuah tim terdiri dari Tenaga kesehatan dengan kompetensi yang relevan dan didukung oleh tenaga lainnya dari lintas sektor termasuk TNIdan pelibatan masyarakat setempat), dengan  logistik dan  prasarana operasional yang memadai) dalam 1 gerakan perang / komando yang komprehensif dan total untuk 3 kegiatan utama yakni

  1. Pengendalian dan rekayasa lingkungan fisik dengan tujuan utama adalah mengendalikan vektor penyebab penyakit.
  2. Penemuan masif dan penatalaksanaan kasus malaria sesuai standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku.
  3. Edukasi dan upaya merubah “praktek salah” ditengah masyarakat yang kontra produktif dengan berbagai upaya kesehatan untuk menyehatkan masyarakat.

Sekiranya aksi nyata sebagaimana tersebut diatas dapat terlaksana dengan konsep kewilayahan mencakup jalur selatan Kabupaten Malaka  dan Timor Tengah Selatan yang merupakan zona fokus aktif malaria di Timor Barat maka agenda eliminasi malaria di NTT akan dapat di gapai.

Selamat bekerja, nyatakan perang dengan malaria di Kabupaten Malaka dan TTS adalah  sebuah ikhtiar dan tindak nyata yang bisa dilaksanakan sekiranya semua kita menjadikan issue malaria adalah issue bersama dan perlu demi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Bangsa. (Jeffrey Jap, Viana Mauleon, Yuliana Otemusu, Saskia Scarlet Frans)

Pelaksanaan vaksin PCV terkendala Maasyarakat menolak suntikan ganda

Imunisasi adalah hak dasar anak untuk sehat,  pemerintah telah meletakan dasar program yang tepat dan benar, implementasi dari kebijakan tersebut adalah merupakan tanggungjawab bersama seluruh stakeholder dan termasuk masyarakat.

Keputusan Menteri Kesehatan No. 01/07/MENKES/779/2022  mengamanatkan  bahwasannya vaksin Pneumococcus Conjugate Vaksin ( PCV) ditetapkan menjadi salah satu jenis antigen vaksin yang  di berikan kepada  seluruh anak Indonesia.  Hal ini  sejalan dengan  transformasi  layanan kesehatan primer dimana  salah satu pendekatan yàng diyakini  memiliki  nilai tambah  dan  sangat cost efektif dalam upaya pencegahan penyakit  infeksi adalah melalui program imunisasi.

Sejauh ini telah terdapat 11  jenis  antigen / vaksin yang di berikan kepada anak Indonesia yang lazim di kenal dengan istilah Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) , dan akan ditambah 3 jenis  antigen baru yakni vaksin PCV untuķ  mencegah penyakit Pneumonia pada anak balita, vaksin Rotavirus  untuk menceģah  diare pada anak  dan vaksin HPV  untuk pencegahan  kanker serviks pada  remaja). Sehingga akan menjadi 14  jenis  antigen wajib, dengan  istilah Imunisasi Rutin Lengkap (IRL) inilah salah satu upaya pemerintah Indonesia  dalam kerangka menjaga  kesehatan Bangsa, dan  dikenal dengan  penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi (PD3I).

12 September 2022 merupakan hari bersejarah  bagi  Indonesia  dimana  vaksin PCV  secara resmi di launching oleh Menteri Kesehatan  RI bapak Budi Gunadi  Sadikin, sebagai salah 1 vaķsin dasar /wajib  bagi seluruh anak Indonesia.  Setiap anak  berhak mendapat 3  dosis  vaksin PCV  sesuai usianya yakni pada saat anak usia  2 bulan,  3 bulan  dan  12 bulan.

Adapun sejarah  perjalanan  vaķsin PCV  di Indonesia  telah  dimulai sejak tahun 2017 dengan  uji coba di beberapa kabupaten  yang ķemudian di perluas,  awal mula adalah di 3 kabupaten  di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang lalu diperluas  mencakup seluruh Prov. NTB lalu  di perluas ke Provinsi Bangka Belitung, Jawa Timur  dan Jawa Barat. Kajian terhadap kehandalan (efikasi) dan juga efek samping  vaksin PCV. Selama  masa uji coba memberikan justìfikasi  bahwasannya vaksin PCV handal  dalam  memberikan perlindungan kepada  anak terhadap penyakit Pneumonia dengan efek samping (KIPI)  yang sangat minim. Oleh karenanya  telah direkomendasikan  oleh Indonesian Technical Advsory Group on Immunizàtion (ITAGI) dan di terima  oleh Kementerian Kesehatan RI  untuk dimasukan  dalam program imunisasi rutin.

Dengan bertambahnya  jenis antigen maka tentunya akan  menambah jumlah pemberian  (suntikan  maupun  teknik lainnya ) dalam konteks  pemberìan  imunisasi  kepada sasaran  dalam sekali kunjungan ke fasilitas kesehatan. Hal ini  di ķenal sebagai multiple injection (suntikan ganda).  Dimana  dalam satu waktu seorang anak boleh mendapatkan  lebih dari 1 jenis vaksin maupun  lebih dari 1 cara pemberian  vaksin.  (Misalnya pemberian  vaksìn dengan  teknik tetes maupun injeksi dalam 1 waktu.   Bahkan dapat di berikan lebih dari 1 kali injeksi   (beda vaksin ) dalam 1 kunjungan.

Terhadap pemberian vaksin  baik jenis maupun cara yang boleh lebih dari 1 (multiple injection) tentunya  juga telah melalui berbagai kajian, baik interaksi  vaksin, keamanan vaksin, efikasi vaksin  maupun  dari sisi efisiensi waktu  dan ditemukan bahwasannya tidak ditemukan hal /efek yang kontra produktif. Oleh karenanya direkomendasikan  dan telah banyak  diterapkan di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia sekalipun.

Sebagaimana  di rilis  dari  Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI  menyampaikan bahwa saat ini penyakit infeksi menjadi penyumbang kematian yang cukup besar bagi bayi dan balita di Indonesia. Penyakit infeksi yang berbahaya dapat menyebabkan kecacatan bahkan kematian seperti Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Campak, Polio, Tetanus, Hepatitis B, Pneumonia, Diare dan Kanker Leher Rahim. Sejatinya bahwa jenis penyakit tersebut diatas sesungguhnya dapat dicegah dengan imunisasi, bahkan beberapa telah berhasil di turunkan angka kasusnya dan berhasil dieradikasi di dunia melalui upaya imunisasi seperti penyakit cacar. Dengan ketentuan bahwasannya cakupan imunisasi telah mencapai target sebagaimana ditetapkan yakni tinggi dan merata  sehingga telah terbentuk kekebalan imunitas (herd immunity) terhadap penyakit tertentu.

Sehubungan dengan penyakit infeksi Pneumonia pada  balita dan anak beberapa fakta menunjukkan keseriusan ancaman pneumonia terhadap kelangsungan hidup generasi, diantaranya :

  1. Indonesia adalah 1 dari 10 negara dengan jumlah kematian balita tertinggi,  pada tahun 2015 dan 14 % kematian balita di Indonesia karena Pneumonia dan setiap jam 2 – 3 balita meninggal karena Pneumonia.
  2. Hasil Riskesdas (2018) menunjukan terjadinya  peningkatan prevalensi Pneumonia  dari 1,6 %  (2013) menjadi 2 % (2018)
  3. Rata rata ada 1,26 juta kasus pneumonia balita setiap tahun dan dirawat jalan di rumah sakit dalam kurun 6 tahun teraahir, diperlukan biaya perawatan sebesar 379,3 miliar/tahun.
  4. Provinsi NTT merupakan provinsi tertinggi penyumbang insiden pneumonia  di Indonesia dengan  angka 38,5%.

Terhadap situasi dan ancaman sebagaimana tersebut diatas, dimana bakteri penyebab pneumonia adalah Pneumokokus yang dapat di cegah dengan vaksin PCV maka kebijakan pemberian vaksin PCV kepada seluruh anak Indonesia adalah sebuah upaya dan ikhtiar untuk memastikan anak Indonesia dapat terhindar dari ancaman pneumonia, selain beberapa upaya diantaranya ASI eksklusif, gizi seimbang, PHBS dan sanitasi lingkungan yang baik dalam mendukung kesehatan anak Bangsa.

Adanya fakta bahwa  di beberapa kabupaten di NTT belum melaksanakan vaksinasi PCV sampai dengan 1 bulan pasca pencanangan (12 september 2022)  dengan alasan adanya penolakan dari orang tua  terhadap penyuntikan ganda dan juga beberapa tenaga kesehatan belum berani melakukan penyuntikan ganda maka di rekomendasikan beberapa upaya untuk mendorong segera pelaksanaan vaksinasi PVC di kabupaten /kota masing masing. Adapun langkah strategis yang dapat di upayakan adalah:

  1. Kampanye secara masif introduksi vaksin PCV kepada masyarakat melalui berbagai jalur komunikasi yang dinilai efektif dan tepat sasaran.
  2. Pelibatan berbagai stakholder di wilayah masing-masing untuk berpartisipasi baik dalam sosialisasi maupun penggerakan sasaran agar antusias mendapatkan vaksin PCV bagi anaknya.
  3. Penguatan kapasitas SDM Kesehatan untuk dapat melakukan vaksinansi ganda dan juga kapasitas edukasi perubahan perilaku di tengah masyarakat, berhubung makin dinamisnya tantangan program kesehatan dan harapan serta sikap masyarakat.
  4. Memastikan perubahan pola kerja dan motivasi  pada tenaga kesehatan agar sejalan dengan tranformasi layanan kesehatan yang mencakup minimal 2 pilar yakni pilar tranformasi layanan primer yang mengedepankan program imunisasi untuk menyehatkan generasi bangsa dan pilar digitalisasi layanan kesehatan dimana banyak pencatatan dan pelaporan kesehatan wajib bertransformasi dari konvensional menuju digitalisasi.

Selamat bekerja, mari sehatkan anak bangsa melalui layanan imunisasi yang merupakan hak anak dan tenaga kesehatan adalah pelayan dalam memenuhi hak anak tersebut wajib  bertanggung jawab terhadap :  Tepat prosedural, aman bagi sasaran, cakupan tinggi dan merata di seluruh wilayah agar terbentuk kekebalan imunitas. (Jeffrey Jap, Vidria Handayani Tae, Marselinus Pratama Atasoge, Yabes Banik).

 

Gapai Generasi Unggul melalui Intervensi Kesehatan pada Anak Usia Sekolah dan Remaja

Anak usia sekolah merupakan sasaran strategis untuk pelaksanaan program kesehatan. Jumlahnya yang besar, diperkirakan 24% dari jumlah penduduk, merupakan sasaran yang mudah dijangkau karena terorganisir dengan baik yaitu berada di sekolah/madrasah.

Upaya intervensi yang dilakukan dalam menciptakan generasi sehat, unggul dan berkualitas adalah dengan penjaringan kesehatan bagi anak usia sekolah dan remaja. Penjaringan kesehatan merupakan prosedur pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi secara dini masalah kesehatan yang dapat mengganggu proses belajar dan tumbuh kembang anak sehingga dapat ditindaklanjuti dengan segera.

Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, sehingga perlu dilakukan upaya kesehatan anak secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan.  Upaya pelayanan kesehatan bagi anak usia sekolah dan remaja ditujukan untuk peningkatan kesehatan anak, yang pelayanannya dilakukan mulai dari fasilitas pelayanan kesehatan tingkat dasar di Puskesmas maupun di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan di rumah sakit. Amanah dalam pemenuhan atas hak kesehatan yang sama untuk semua anak Indonesia, dilakukan melalui kegiatan penjaringan kesehatan dan pemeriksaan berkala dilaksanakan di sekolah, madrasah, panti/LKSA da lapas/LPKA.  Untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi anak usia sekolah dan Remaja termasuk anak terlantar/anak jalanan, maka penjaringan kesehatan dan pemeriksaan berkala dapat dilakukan lewat UKS/M dan mendorong mereka datang ke Puskesmas atau ikut serta dalam kegiatan Posyandu Remaja. Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Barat melaksanakan kegiatan Pembinaan Pemeriksaan Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja bagi Pengelola UKS Puskesmas se- Kabupaten Manggarai Barat.  Kegiatan ini dilaksanakan di Aula Dinas Kesehatan  Kabupaten Manggarai Barat pada tanggal 04 Oktober 2022 dengan jumlah peserta sebanyak 22 orang  pengelola UKS Puskesmas. Tujuan diselenggarakannya kegiatan ini adalah untuk memberikan pembinaan kepada pengelola UKS Puskesmas terhadap pelayanan Kesehatan bagi anak usia sekolah dan remaja di wilayah kerjanya, agar mutu pelayanan lebih berkualitas dan  mendekatkan akses pelayanan kesehatan bagi anak usia sekolah dan remaja.

Kegiatan pembinaan dibuka oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Barat yaitu Paulus Mami, SKM. Bertindak sebagai Nara sumber adalah pengelola program UKS dan PKPR pada Seksi Kesga, Gizi dan KB, Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan Sipil yaitu Ni Made Oka Arpini Kasuma, SP., M.Kes. Metode Pembinaan adalah ceramah, tanya jawab dan praktek pengisian kuesioner. Peserta sangat antusis mendengarkan setiap materi yang diberikan dan terjadi komunikasi dua arah antara nara sumber dan peserta, hal ini  terlihat dari pertanyaan pertanyaan yang diajukan dan sharing pengalaman oleh peserta.

Materi yang disampaikan antara lain :

  1. Kebijakan Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja
  2. Transformasi dan Akselerasi UKS di Tingkat Provinsi NTT
  3. Penjaringan Kesehatan dan Pemeriksaan Berkala bagi Anak Sekolah
  4. Pencatatan dan Pelaporan Penjaringan dan Pemeriksaan Kesehatan secara berkala
  5. Perhitungan Indikator Pelayanan Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja
  6. Implementasi Model Sekolah/Madrasah Sehat
  7. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)
  8. Standar Nasional PKPR
  9. Rencana Tindak Lanjut

Beberapa kesepakatan yang perlu ditindak lanjuti oleh peserta setelah kembali ke tempat kerja yaitu:

  1. Mensosialisasikan materi yang di peroleh saat pembinaan/orientasi
  2. Peserta melaksanakan pelayanan kesehatan bagi anak usia sekolah dan  remaja sesuai standar dan pedoman dari Kemeterian Kesehatan RI
  3. Puskesmas membina Sekolah Sehat di Wilayah Kerja  masing-masing
  4. Puskesmas membentuk Posyandu Remaja di Wilayah kerjanya

Pemeriksaan kesehatan bagi anak usia sekolah dan remaja  dilakukan untuk mendeteksi secara dini masalah kesehatan yang dapat mengganggu proses belajar dan tumbuh kembang anak sehingga dan dapat ditindaklanjuti dengan segera.

Dengan dilakukannya Pelayanan Kesehatan bagi anak usia sekolah dan remaja, mengantarkan kita menciptakan generasi yang sehat, cerdas, berkualitas, mampu bersaing secara unggul, yang akan mengantar kita  mewujudkan NTT sehat dan NTT sejahtera. (Ni Made Oka Arpini Kasuma, SP., M.Kes.)

Deteksi Dini Institusi oleh Provinsi

Meningkatnya kasus penyakit tidak menular (PTM) secara signifikan akan menambah beban masyarakat  dan pemerintah, karena penanganannya membutuhkan waktu yang lama karena bersifat kronis, biaya yang besar dan teknologi tinggi. Kasus PTM memang tidak ditularkan namun mematikan dan mengakibatkan individu menjadi tidak atau kurang produktif namun PTM dapat dicegah dengan mengendalikan faktor risiko melalui deteksi dini.Tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah melakukan deteksi dini dan tindak lanjut dini faktor risiko PTM. Kegiata yang dilakukan meliputi pemeriksaan tekanan darah, pengukuran indeks masa tubuh, wawancara perilaku berisiko, dan edukasi gaya hidup melalui kegiatan posbindu PTM.

Pelaksanaan kegiatan deteksi dini ini dilakukan di Kabupeten Sikka yang berlangsung selama 3 hari dari tanggal 28 – 30 september 2022, dengan sasaran usia 15 tahun keatas yang diikuti sebanyak 1.214 orang peserta yang tersebar di 3 wilayah kerja puskesmas di kabupaten Sikka yakni :

  1. 328 orang dari Puskesmas Nita tepatnya SMA Negeri 1 Nita dengan sasaran siswa/i, para guru dan karyawan.
  2. 462 orang dari Puskesmas Kopeta tepatnya SMA Negeri 2 Maumere dengan sasaran siswa/i, para guru dan karyawan.
  3. 424 orang dari Puskesmas Paga tepatnya SMASK Negeri 1 Nita dengan sasaran siswa/i, para guru dan karyawan.

Kegiatan diawali dengan senam senam kesegaran jasmani bersama siswa/i, para guru dan karyawan yang bertempat di halaman sekolah dan dilanjutkan dengan skrining faktor risiko dengan sistem 5 meja yakni: pendaftaran peserta, wawancara faktor risiko PTM, pengukuran fisik, pemeriksaan darah & kejiwaan dan identifikasi FR PTM, Konseling & tindak lanjut.

Penulis       : Elisabeth Mbata, Eelweis Leo Dima

Cegah Penyakit Tidak Menular dengan Deteksi Dini Faktor Risiko

Bertempat di kabupaten TTS, pada tanggal 28-30 September 2022, tim Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi NTT, Nur Azizah, SKM dan Juliana Otemusu, S.Sos melaksanakan Deteksi Dini Faktor Risiko (FR) Penyakit Tidak Menular (PTM) di Kabupaten TTS. Tim bertemu, serta berkoordinasi dengan Kepala Bidang P2P Dinas Kesehatan Kabupaten TTS ibu Elizabeth Pah, SST. M.Kes. Kemudian Tim Provinsi, Tim Dinkes Kabupaten TTS serta Tim Puskesmas Kota menuju ke SMA Efata untuk melaksanakan Deteksi Dini FR PTM yang didahului dengan bertemu Kepala Sekolah untuk melaporkan pelaksanaan deteksi dini PTM.

Pelaksanaan Deteksi Dini Institusi oleh Provinsi yang dilaksanakan di Dinas Kesehatan Kabupaten TTS pada tanggal 28 sampai 30 September, yang diikuti sebanyak 1028 orang peserta, yaitu 869 orang dari puskesmas Kota Soe tepatnya di SMA Efata yang sasarannya adalah para siswa/i serta guru- guru dan karyawan SMA Efata. Peserta lainnya sebanyak 159 orang berasal dari wilayah kerja Puskesmas Siso yaitu SMA Kristen 2 Soe yang terdiri dari para siswa/i, guru dan karyawan.

Kegiatan diawali dengan penyuluhan tentang Kesehatan Reproduksi dan simulasi pemeriksaan Kanker Payudara oleh  Diri Sendiri (SADARI) dengan pemateri  dr. Aimee. Materi tentang Penyakit Tidak Menular oleh dr. Timy Tahun. Setelah penyuluhan kesehatan dilanjutkan dengan deteksi dini FR PTM dengan system 5 (Lima) Meja yaitu:

  1. Meja Pertama Registrasi Pendaftaran peserta
  2. Meja Kedua Wawancara FR PTM
  3. Meja Ketiga Pengukuran Fisik
  4. Meja Keempat Pemeriksaan Darah dan Kejiwaan
  5. Meja Kelima Identifikasi FR PTM, konseling dan tindak lanjut.

Rencana Tindak lanjut :

  1. Deteksi dini FR PTM bagi institusi untuk tahun mendatang perlu dianggarkan melalui pendanaan daerah.
  2. Peningkatan upaya promotif terkait pencegahan Penyakit Tidak Menular
  3. Berkoordinasi dengan Lintas sektor terkait kolaborasi kegiatan yang diawali dengan pemeriksaan deteksi dini FR PTM

Semua data pelaksanan deteksi dini wajib diinput menggunakan Aplikasi ASIK.

Penulis  : Rahayu C. Rini

 

Cegah Penyakit Tidak Menular dengan Deteksi Dini Faktor Risiko

Penyakit Tidak Menular (PTM) saat ini merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia, karena menjadi penyebab tingginya angka kesakitan, kematian serta berdampak besar terhadap biaya dan produktifitas. Selain itu, diketahui bahwa PTM merupakan komorbid yang menyebabkan tingginya angka kematian pada kasus COVID-19. Salah satu PTM yang memiliki prevalensi tertinggi di Indonesia adalah Hipertensi, berdasarkan data Riskesdas 2018. Diperkirakan 4 dari 10 orang di Indonesia menyandang Hipertensi (34,1%). Hipertensi dikenal sebagai “silent killer“, karena sering muncul tanpa gejala dan keluhan yang berarti namun dapat mengakibatkan munculnya komplikasi bahkan kematian. Melakukan aksi Deteksi Dini Institusi oleh Provinsi dilaksanakan di Kabupaten TTU, tanggal 28 sd 30 September 2022. Sesuai dengan lokus yang sudah ditetapkan di 3 Puskesmas yaitu (1) Puskesmas Maubesi tempat kegiatan di  SMA Negeri Insana Tengah (2) Puskesmas  Sasi tempat kegiatan di Universitas Timor, (3) Puskesmas Noemuti tempat kegiatan di Desa Noemuti. Kegiatan diawali dengan  Penyuluhan tentang CERDIK di sekolah untuk mencegah dan mengendalikan Penyakit Tidak Menular kemudian dilanjutkan dengan deteksi dini faktor risiko PTM.

Nama Penulis   : Andi Masriani

Deteksi Dini Institusi oleh Provinsi

Penyakit Tidak Menular (PTM) saat ini merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia, karena menjadi penyebab tingginya angka kesakitan, kematian serta berdampak besar terhadap biaya dan produktifitas. Selain itu,diketahui bahwa PTM merupakan komorbid yang menyebabkan tingginya angka kematian pada kasus COVID-19.Salah satu PTM yang memiliki prevalensi tertinggi di Indonesia adalah Hipertensi, berdasarkan data Riskesdas 2018.

diperkirakan 4 dari 10 orang di Indonesia menyandang hipertensi (34,1%). Hipertensi dikenal sebagai “silent killer”,karena sering muncul tanpa gejala dan keluhan yang berarti namun dapat mengakibatkan munculnya komplikasi bahkan kematian.

Kegiatan dilaksanakan di Kabupaten Malaka, dengan Sasaran  Deteksi Dini Faktor Risiko PTM meliputi usia 15 tahun keatas  dengan Jumlah sasaran 1000 orang/Kabupaten, kegiatan dilaksanakan di  Puskesmas dengan jumlah sasaran masing – masing  335 orang/puskesmas terdiri dari :

  • Kelompok usia 15 -18 Tahun ( Siswa SMA)    syarat : membawa fotocopy kartu keluarga.
  • Kelompok usia 18-24 Tahun ( Komunitas Kampus)syarat : membawa KTP.
  • Kelompok usia 25- 59 Tahun  syarat : membawa KTP.

Puskesmas dalam kegiatan ini adalah Puskesmas Betun, Puskesmas Weliman dan Puskesmas Weoe  dengan jumlah penjaringan sebagai berikut :

  1. Puskesmas Weliman, Target  sebanyak : 335, Kehadiran peserta sebanyak : 345 (102,9%)
  1. Puskesmas Weoe, Target  sebanyak : 335 Kehadiran peserta sebanyak : 394 (117,6%)
  1. Puskesmas Betun, Target sebanyak  : 335 Kehadiran peserta sebanyak  : 361 (102,%)
Penulis : Andre Paliyama

Pastikan Air Aman dari Penyelenggara Sampai ke Pengguna

Data Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) Tahun 2020 menunjukan bahwa akses air minum layak di Indonesia sudah menjangkau hampir 90 persen penduduk, namun akses air minum aman baru mancapai 11,9%. Sementara itu, 40,8% masyarakat yang menggunakan sarana air minum bersumber dari air tanah (selain sarana air minum perpipaan dan depot air minum). Dampak dari konsumsi air minum yang tidak aman sendiri adalah dapat menyebabkan  gangguan kesehatan serta kerugian ekonomi dan  pembangunan dalam bentuk hilangnya waktu  produktif (hari kerja dan hari sekolah), dengan menyumbang angka kejadian diare sebagai salah satu penyakit berbasis lingkungan.

Sesuai dengan amanat dan target yang dimandatkan kepada Pemerintah Indonesia untuk Sustainable Development Goals (SDGs) goal 6.1 yaitu mencapai 100% akses air minum aman, maka perlu diperhatikan bahwa kualitas air minum merupakan hal penting yang perlu dijamin pemenuhannya. Dalam implementasinya, untuk mencapai kualitas air minum yang aman ini perlu dilakukan pengawasan mulai pihak penyelenggara sampai ke pengguna air minum.

Sektor Kesehatan dalam menjamin kualitas air minum aman sampai dengan tingkat rumah tangga diperlukan upaya penguatan pengawasan kualitas air minum internal dan eksternal baik tingkat hulu dalam hal ini sumber sarana air minum dan pengawasan hilir yaitu sampai dengan tingkat Rumah Tangga, dengan tujuan untuk memastikan jaminan mutu air yang didistribusikan sampai dengan tingkat sasaran (Rumah Tangga/) yang siap minum adalah air minum yang aman.

Sebagai bentuk penguatan kapasitas SDM Kesehatan dalam melaksanakan pengawasan Kualitas Air Minum, Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Tengah mengadakan pertemuan Advokasi Peningkatan Kualitas Air Minum Aman Tingkat Kabupaten Sumba Tengah, dengan mengundang Tenaga Sanitasi Lingkungan (TSL) berjumlah 20 orang pada 10 Puskesmas di kabupaten Sumba Tengah. Pertemuan berlangsung pada Rabu, 5 Oktober 2022 bertempat di aula Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Tengah. Tujuan dilaksanakan pertemuan ini antara lain agar tenaga sanitasi lingkungan dapat mensosialisasikan kualitas air minum aman ke masyarakat serta tercapai target indicator pengawasan kualitas PKAM.

Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan sipil Provinsi NTT khususnya pad Seksi Kesehatan Lingkungan , Kesehatan Kerja dan Olahraga. Pertemuan dibuka oleh Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Tengah, Bapak Yance Umbu Tewu, ST.M.Ec,Dev. Dalam sambutannya beliau menyampaikan bahwa walaupun di Sumba Tengah masih ada daerah yang kesulitan air, tapi masyarakat harus mengetahui pentingnya air minum yang harus diolah terlebih dahulu sebelum dikonsumsi agar masyarakat terhindar dari penyakit-penyakit yang mungkin dapat terjadi. Ini merupakan tugas penting dari Tenaga Kesehatan Lingkungan untuk terus mengeduaksi masyarakat tentang pentingnya konsumsi air minum yang aman.

Dalam penyampaian materi, juga diperkenalkan kepada peserta kegiatan tentang aplikasi Sistem e-monev Pengawasan Kualitas Air Minum (e-monev PKAM). Aplikasi ini merupakan media pelaporan data Pengawasan Sarana Air Minum (SAM) yang dapat diakses oleh masing-masing puskesmas. Peserta juga melakukan praktek penginputan data Inspeksi Kesehatan Lingkungan SAM untuk dapat diketahui tingkat resiko SAM yang diawasi.(Penulis : Stefany Aran)